Viral Berita Seorang Santri Meninggal di Pesantren Gontor
Oleh: DR. Ulil Ami Syafri, Lc., MA.
Turut berduka cita atas meninggalnya santri AM.
Semoga almarhum mendapat Rahmat-NYA.
Keluarga yang ditinggalkan diberi dan dimuliakan dengan kesabaran.
Aamiin …
Judul tulisan ini bukanlah kesimpulan dari sebuah peristiwa yang baru-baru ini heboh di media sosial. Bisa jadi ada banyak tulisan yang membuat judul lebih jelas, terbuka, atau apalah itu. Tapi satu yang menjadi kesamaan dari tulisan-tulisan ini, bahwa memang telah terjadi peristiwa seorang santri yang sedang dalam proses nyantri di pesantren Gontor meninggal dunia akibat penganiayaan. Keluarga korban, utamanya ibunda almarhum, kecewa peristiwa ini bisa terjadi di lembaga pendidikan besar yang ia hormati selama ini.
Sebagai pemerhati pendidikan Islam, saya ingin untuk berbagi renungan pada peristiwa yang amat mengejutkan banyak pihak, dan pastinya disayangkan hal itu bisa terjadi.
Peristiwa ini sudah menjadi viral di media online, walaupun fakta peristiwa itu ada beragam judul menarasikannya (silakan dirujuk secara detail). Di laman berita detik.com tertanggal 6 September 2022, menurunkan berita berjudul, “7 Fakta Pilu Santri Gontor Tewas Dianiaya Teman, PonPes Baru Buka Suara”. Sehari sebelumnya laman Detik.com telah mengangkat peristiwa tersebut dengan berita, “Pernyataan lengkap Ponpes Gontor Soal Dugaan Penganiayaan Tewaskan Santri” dan “Santri yang Aniaya Temannya hingga Tewas Dikeluarkan dari Ponpes Gontor”.
CNN Indonesia.com telah menulis berita tentang kasus tersebut pada tanggal 5 september 2022 dengan laporan, “Ponpes Gontor Sempat Tutupi Penyebab Kematian Santri Dianiaya” dan berita, “Polisi Usut Kasus Santri Gontor Meningal, Sejumlah Saksi Dipanggil”. Kemudian sehari setelahnya tulisan berita yang ada, “Polisi Duga Santri Korban Penganiayan di Gontor lebih dari Satu Orang” dan berita, “Polisi Sebut Ponpes Gontor Janji Bantu Ungkap Kasus Santri Tewas”, juga beberapa judul lagi dari laman berita CNN Indonesia.com.
Kompas.com juga melaporkan pada berita tanggal 5 September 2022, “Setelah Didesak, Ponpes Gontor Ahirnya Akui Santri Tewas Karena Dianiaya, bukan kelelahan Berkemah”. Kemudian berita, “Kisah Soimah, Mencari Keadilan atas Kematian Anaknya di Ponpes Gontor, Mengadu ke Hotman Paris” juga berita, “Santri Gontor Diduga Tewas Dianiaya, Polisi: Kami sudah temui Pihak Ponpes”. Bahkan Tempo TV lengkap menurunkan berita dan liputan bersama Hotman Paris dan keluarga Korban. Merdeka.com pada tanggal 6 September 2022 memberitakan dengan judul “Ada Petunjuk Kuat, Polisi Didesak Usut Tuntas Kematian Santri Gontor”
Sedangkan Republika.co.id di tanggal 5 September 2022 pada laman nasional memberitakan, “Gontor Jelaskan Alasan tak Langsung Laporkan Kasus kematian AM ke Polisi”, kemudian berita, “Penjelasan Ponpes Gontor Terkait Dugaan Penganiayaan Santri Hingga Meninggal”. Lalu ada juga berita di hari yang sama, “Polisi Selidiki Meninggalnya Santri Ponpes Gontor”, “Ponpes Gontor Sudah Keluarkan Santri Penganiaya hingga Korban Meninggal”.
Tentunya, masih banyak lagi laman-laman berita dari web online lainnya yang ikut mengangkat dan menjelaskan peristiwa yang sangat memilukan itu. Hal ini bisa jadi karena besarnya perhatian semua pihak terhadap pendidikan Islam, khususnya dalam kaitannya dengan pesantren. Sikap tersebut juga bisa dianggap sebagai peringatan kalau kita tidak boleh diam melihat kekerasan dalam lingkungan pendidikan, tapi mesti membantu mencari solusi agar peristiwa hina itu tak terus terulang di lembaga pendidikan khas kebanggaan milik bangsa kita.
Jangan sampai, kasus-kasus kekerasan dalam lingkungan pendidikan itu laksana ‘Fenomena Gunung Es’. Ada pembiaran di sana. Ada penutupan fakta dan data dengan dalih menutup aib. Hingga kasus-kasus karena ter-viral-kan lalu terungkap, tapi banyak kasus yang tak terungkap. Contoh kasus lain yang lebih memprihatinkan ada di Pesantren Darul Quran Lantaburo wilayah Cipondoh Tangerang (nama pondoknya saja amat istimewa, maknanya ‘Rumah Al Qur’an yang tak akan rugi’). Terjadi peristiwa kekerasan oleh senior santri berjumlah 12 orang kepada adik kelasnya. Kasus ini berakibat meregangnya nyawa adik kelas pasca kegiatan setoran hafalan al-Qu’ran. Hanya karena persoalan sepele, memicu emosi secepat kilat, menyebabkan kekerasan yang terjadi begitu singkat, menghasilan tragedi yang mengenaskan, tepat di bulan kemerdekaan negara ini.
Terkait kasus ini, portal berita Merdeka.com menurunkan berita tertanggal 29 Agustus 2022 dengan judul, “Penganiayaan Santri Ponpes di Tangerang Diduga Terjadi Seusai Setoral Hafalan Al-Qur’an”. Kalau kita ikuti berita dan laporan kepolisian tentang kronologis peritiwa hina ini, maka kita tak akan percaya hal itu terjadi di lingkungan para penghafal Al-Qur’an. Qadarullah, itulah fakta yang perlu jadi renungan guna memperbaiki sistem pendidikan Islam dan cara implementasinya sekalipun. Juga, mesti ada korelasi yang jelas antara nama-nama pondok pesantren, visi-misi pesantren, dan implementasinya di lapangan. Sehingga para pengelola pendidikan betul-betul dapat menghadirkan pendidikan yang holistik, yang dibangun melalui ilmu pendidikan yang tepat dan benar. Nama-nama bercorak ‘Islamis’ atas lembaga Pendidikan itu jangan dijadikan sekedar aksesoris saja. Sehingga musibah yang buruk dan hina ini tidak lagi merasuki dunia pendidikan secara umum, dan pendidikan Islam secara khusus.
Pembangunan jiwa, karakter, adab, nilai kesusilaan, kesantunan akhlak, dan berbudaya baik di lingkungan pendidikan belum bertumbuh sesuai harapan. Bagi para pengelola Pendidikan Islam—terlebih para pengambil kebijakan di tingkat pemerintah—sudah saatnya melakukan pembenahan yang bisa menuntun dunia pendidikan ke arah yang lebih baik. Termasuk juga kasus-kasus kekerasan seksual di lingkungan Pesantren yang seakan melengkapi cerita lemahnya pendidikan kita.
Pendidikan Islam identik dengan pesantren, karena pesantren adalah sistem pendidikan yang diwariskan dari nenek moyang kita. Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan berasrama seperti pesantren merupakan wujud dari sistem among yang menjadi ciri khas pendidikan ketimuran. Dalam sistem ini, guru menjadi ‘pamong’ bagi siswa yang menjalankan peran yang berbeda sesuai dengan fase pertumbuhan dan perkembangan anak didik. Pada masa kanak-kanak, guru menjalankan peran ‘momong’ (merawat), pada masa anak menjelang remaja, guru menjalankan peran ‘among’ (memberi contoh), dan pada fase memasuku usia pemuda, guru berperan ‘ngemong’ (mengamati).
Guru sebagai seorang ‘pamong’ dalam proses belajar mengajar harus bersikap demokratis-dialogis, bukan otoriter. Seorang ‘pamong’ harus mampu menjadi teladan (ingarsa sungtulada). Seorang ‘pamong’ juga harus bisa menjadi mitra dalam memotivasi dan mengembangkan potensi dan bakat yang ada pada anak didik (ingmadya mangunkarsa). Seorang ‘pamong’ juga harus ikhlas dan memberi kesempatan serta memberikan dorongan dalam arti yang luas (tutwuri handayani), agar anak mampu mandiri dan berproses menjadi anak yang berbudaya dan berbudi luhur.
Dalam hal ini, salah satu yang harus dievaluasi adalah konsep penugasan dalam pesantren. Santri senior tidak boleh diserahkan tugas ‘membimbing’ santri baru atau para junior sehingga mereka merasa menjadi ‘pengasuh’ dan ‘pengawas’ beneran, dalam arti menggantikan tugas para guru. Karena santri senior pun masih dalam proses pembinaan dan pendidikan. Mereka masih butuh bimbingan dari para guru yang berkualitas. Apalagi santri yang baru atau junior. Mereka lebih butuh pendampingan dan bimbingan langsung dari para guru dan pengasuh yang berpengalaman luas, hingga sentuhan awal di saat baru masuk pesantren bukan pengasuhan yang ‘kaleng-kaleng’.
Teori Prof. Mahmud Yunus (lahir 1899-1982, tokoh ini menyusun teori tentang guru-guru Islam di tahun 1933, sekaligus sebagai pelaku pendidikan) yang mengatakan ‘Ruh seorang guru itu lebih penting dari guru itu sendiri’ sangat tepat digunakan sebagai landasan penugasan yang tepat dalam pendidikan. Dalam hal ini ‘ruh’ guru belum bertumbuh pada diri para santri senior, meskipun mereka lebih tua dari adik kelasnya. Pada usia itu yang lahir bukan ‘ruh mendidik’ tapi ‘ruh superiotitas’ karena keseniorannya. Rasa kasih sayang dan peran momong belum bertumbuh sesuai kebutuhan dunia pendidikan seharusnya. Hal ini adalah fakta tak mudah dipungkiri.
Maka bagi pesantren modern, rasio jumlah guru harus menjadi perhatian. Artinya, guru berstandar kepesantrenan adalah guru yang bukan sekedar berlatih jadi guru. Karena, guru-guru inilah yang kerap merusak proses pendidikan dan melunturkan karismatik pengasuhan yang sesungguhnya. Bila akan melatih para santri senior, maka terjunkan dulu mereka ke masyarakat umum. Sehingga para santri itu akan mendapat didikan dan pengalaman dalam masyarakat. Tapi jika hanya berada dalam pesantren sendiri dan masih berstatus sebagai santri pula, maka superioritas senior akan merusak suasana pengasuhan yang menjadi kekhasan dunia pesantren itu sendiri.
Demikian pula konsep pengasuhan dan guru. Sebaiknya di pesantren modern tidak memisahkan fungsi pengajaran dan pengasuhan. Artinya, para guru di kelas adalah para pengasuh di asrama juga. Karena guru dalam tradisi kepesantrenan klasik—dalam hal ini Kiai Pesantren—adalah teladan hidup para santri yang semua sikap dan geraknya menjadi panutan. Misalnya dalam hal ibadah & wirid dan seterusnya, para santri bercermin pada keteladanan Sang Kiai dulu, sebelum mereka paham akan dalil agamanya. Karena Sang Kiai pun menjadi dalil bagi para santrinya. Proses pendidikan kepesantrenan seperti ini akan menjadi proses bertumbuhnya Adab.
Tentu akan bermasalah jika pengasuhan dan segala keteladanan yang ditimbulkannya muncul dari senioritas yang buruk dan tidak mendidik, apalagi jika diiringi kekerasan. Jika hal tersebut terjadi dan menjadi turun menurun pada angkatan berikutnya, inilah yang penulis sebut sebagai ‘Pendidikan Bukan-Bukan’. Pendidikan yang diajar oleh orang yang sekedar jadi guru, pendidikan yang memelihara konflik, bukan menyelesaikan problem di dalamnya (Baca buku “Pendidikan Bukan-Bukan”, 2021).
Teori Prof. Mahmud Yunus tentang guru ini banyak dikuti oleh para pelaku pendidikan, termasuk pendiri Gontor Allahyarham KH. Imam Zarkasyi (1910-1985). Bunyi utuhnya adalah sebagai berikut:
الطريقة اهم من المدة ولكن المدرس اهم من الطريقة بل روح المدرس أهم من مدرس نفسه- –
Artinya: Metode pembelajaran lebih penting dari pada materi ajar, tapi guru itu lebih penting dari pada sekedar metode, lebih jauh lagi, bahwa RUH / JIWA seorang guru itu lebih Penting dari sosok guru itu sendiri.
***
Pendidikan pesantren adalah asli milik bangsa kita. Ia tumbuh dan berkembang di beberapa wilayah Nusantara dengan segala keistimewaannya. Pada masa lalu, pesantren hidup dan terintegrasi dengan kegiatan masyarakat. Misalkan, di masa masyarakat sedang turun ke sawah atau sedang panen, para santri akan terlibat berkerja bersama-sama dengan masyarakat dan juga kiainya. Artinya, pendidikan dan pengajaran menjadi lebih hidup, bukan sekedar proses transfer ilmu pengetahuan saja. Profil pesantren seperti ini tentunya masih melekat di banyak masyarakat kita saat ini, bahwa anak-anaknya belajar di pesantren bukan saja mendapatkan ilmu, tapi juga belajar tentang kehidupan yang amat berguna sepanjang masa. Prosentase masyarakat muslim Indonesia hingga saat ini masih amat tinggi dalam menaruh harapan besar pada lembaga Pendidikan Pesantren milik asli kultur Nusantara itu.
Sehebat apapun perkembangan ilmu pedagogik modern, tetap saja sentuhan klasik tak bisa diremehkan. Keteladanan adab, pergaulan sesama santri yang saling menghargai dan menyayangi dengan kesantunan budi pekerti dan toleransi, tetap menjadi titik penting dalam jejak pendidikan Islam, sekaligus budaya hidup dalam proses pengajaran dan pendidikan Islam.
Maka, peristiwa yang terjadi di Ponpes Gontor seperti yang telah diberitakan secara nasional itu, menjadi semacam tantangan bagi pihak pengelola Ponpes agar dapat menjelaskan kepada masyarakat dengan semangat edukasi, yaitu tentang bagaimana ajaran Islam bersikap di satu sisi, dan apa pesan penting dari ajaran Islam pada kasus pembunuhan di sisi lainnya.
Pada sisi pertama, yang menjadi pesan edukasinya adalah tentang unsur pertanggungjawaban yang menjadi titik poin penting dari pihak pelaku. Adapun pada sisi lainnya, terletak pada ajaran Islam yang mesti direview, bahwa peristiwa yang berakhir dengan terbunuhnya seseorang adalah dosa tertua manusia yang sangat dikecam oleh ajaran agama Samawi. Ajaran Islam nyata berkesimpulan, bahwa membunuh seseorang tanpa HAK adalah diumpamakan seperti membunuh manusia seluruhnya. Maka penjagaan nyawa manusia menjadi pesan UTAMA agama Allah SWT, tanpa membedakan keyakinan dan segalanya.
Pada kedua sisi tersebut, pelaku harus memperlihatkan moralnya sebagai santri yang bertanggung jawab, dan lembaga pendidikan harus teguh dan kokoh dalam membawa pesan penjagaan nyawa dan kemanusiaan. Artinya, jangan pula karena dua sisi edukasi ini tak bertumbuh, lalu perkara pembunuhan itu terdengar seperti hal biasa. Tentu tak seperti itu. Kematian seorang tanpa HAK adalah kejahatan kemanusiaan. Ya, kejahatan yang amat merusak jiwa, moral, dan merusak nilai tersebut akan mengarah pada kesimpulan, bahwa pembunuhan adalah kejahatan yang amat jahat, apapun alasannya dan motif pelaku. Inilah pesan edukasi yang harus tersampaikan pada kehidupan umat sebagai masyarakat Nusantara yang berbudaya baik.
Jika pada Kasus FS—pembunuhan polisi, oleh polisi, dan dilakukan di rumah polisi—bisa menjadi perhatian Rakyat, tentu kita mengapresi masyarakat yang amat peduli. Maka begitu juga pada peristiwa penganiayaan yang terjadi pada santri Gontor di lingkungan ‘pendidikan Pesantren’. Tentu saja kita juga harus marah dan benci, karena logikanya, pembunuhan tetaplah menjadi kejahatan kemanusiaan.
Semoga semua pihak, khususnya pelaku, menyadari atas dosa dan kelakuannya tersebut, lalu harus berani bertanggung jawab di depan hukum Indonesia. Secara pribadi, santri pelaku harus bertobat, lalu menemui keluarga korban atas perbuatannya tersebut. Karena bagaimana pun keluarga almarhum adalah orangtua dari sahabat dan sesama santri yang sedang dalam proses pendidikan Islam. Lakukanlah adab yang terbaik ketika menyadari perbuatan tersebut menyebabkan nyawa temannya melayang.
Inilah saatnya anda menunjukan adab sebagai seorang santri yang bertanggung jawab. Semoga juga Ponpes Gontor di mana para santri ini belajar, tetap bisa mendampingi kedua belah pihak, termasuk mendampingi keluarga masing-masing yang pastinya akan melalui hari-hari yang berat.
Semoga sikap yang dilakukan Gontor juga akan menjadi bagian dari narasi edukasi Islam yang tepat dan benar, hingga masyarakat kita akan mendapat keteladanan yang baik dalam hal menyelesaikan masalah yang sama sekali tak diinginkan terjadi, tanpa ditutup-tutupi.
***
Dalam polemik kebudayaan tahun 1935, dr. Sutomo (1888-1938) pernah memberikan perbandingan dalam kaitannya dengan pembangunan jiwa manusia Indonesia yang lebih harmonis, serta dalam hal berbudaya. Hal tersebut adalah saat anak-anak Nusantara masa lalu berada dalam didikan Pesantren yang asli milik bangsa ini, dengan anak-anak yang masuk pada sekolah dan pengajaran pada masa penjajahan Belanda.
Dr. sutomo mengatakan, “Apakah yang tampak sekarang? Anak-anak dari sekolah desa terpisah dari anak-anak sekolah standar, sedang anak-anak sekolah HIS dan ELS sudah merasa dirinya lebih tinggi dari pada anak-anak lainnya.”
Lebih lanjut penjelasan dr. Sutomo, “Di dalam sekolah Barat di negeri ini seperti ELS dan sebagainya, Pendidikan itu tak terdapat di dalam Kurikulum. Di dalam sekolah pemerintahan (maksudnya Belanda) yang diberikan kepada kita hanya pengajaran (Pengetahuan), sedang pendidikan adalah suatu soal yang seakan-akan tidak ada di dalam sekolahan itu.”
Dari dua polemik pemikiran tentang pola dan sistem pengajaran Belanda masa itu pada anak-anak bangsa kita (istilah Pengajaran lebih disukai dr. Sutomo dibanding istilah Pendidikan), maka tampak dr. Sutomo mengapresiasi dan pro terhadap pendidikan pesantren.
Baginya, sistim pesantren itu tidak saja melakukan pengajaran, tapi juga pendidikan nilai yang amat dibutuhkan anak-anak di negeri ini.
Pesantren adalah kita. Santrinya adalah manusia Indonesia masa depan.
**Penulis adalah dosen Pascasarjana materi Ilmu Pendidikan Islam dan penulis buku “Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur’an” (2012) & “Pendidikan Bukan-Bukan” (2021).