Pendidikan Akhlak dalam Al-Quran serta Implikasinya dalam Pendidikan Islam di Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Islam merupakan agama yang mengatur hubungan adab/ mu’amalah dalam aspek seluruh bagian dari kehidupan. Adab hubungan tersebut tidak sebatas hubungan manusia antara tuhannya saja, jauh lebih dari itu agama islam mengatur hubungan dengan makhluk-makhluk ciptaan Allah yang lainnya. Oleh sebab itu, pentingnya menjaga adab dab hubungan baik dengan seimbang agar melahirkan tatanan kehidupan yang tentram dan damai. Namun pada realitanya, seorang manusia memiliki sebuah potensi untuk “merusak” akhirnya membuat kehidupan jauh dari kata tentram dan beradab.
Dalam sebuah proyek yang diselenggarakan oleh Uiversitas Birmingham, Inggris tengah seorang penelitinya bernama Blaire Morgan menyatakan bahwa, lebih setengah (55%) dari 1.700 orang tua dari anak berumur 11 sampai 17 tahun bersepakat bahwa media sosial menghambat atau bahkan merusak perkembangan moral. Namun, ada beberapa dari mereka enggan menyepakati bahwa situs-situs media sosial memberikan dampak positif pada sifat anaknya. Hanya 15% menyatakan situs seperti Facebook berpengaruh positif pada karakter anak muda, sementara 40% khawatir atau sangat khawatir bahwa media sosial kemungkinan bisa membawa pengaruh merusak pada anak-anak (BBC News Indonesia, 2016).
Sehubungan dengan itu, terdapat hasil data riset Programme for International Student Assessment (PISA) pada tahun 2018 menunjukkan bahwa, murid yang mengaku pernah mengalami perundungan (bullying) di Indonesia sebanyak 41,1%. Berdasarkan angka persentase tersebut menempatkan Indonesia di posisi kelima tertinggi dari 78 negara sebagai negara yang murid sekolahnya paling banyak mengalami perundungan. Pada tingkat nasional tahun 2018, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melaporkan bahwa 84% pelajar mengalami kekerasan di lingkungan sekolah. Dari 445 kasus yang ditangani sepanjang 2018, sekitar 51,2% di antaranya merupakan kasus kekerasan fisik, seksual maupun verbal. Pelakunya, selain guru, juga sesama pelajar (Alfiah, 2022).
KPAI mencatat selama kurun waktu 9 tahun, dari 2011 sampai 2019, ada 37.381 pengaduan kekerasan terhadap anak. Untuk bullying baik di pendidikan maupun sosial media, angkanya mencapai 2.473 laporan dan trennya terus meningkat. (kpai.go.id). Selain itu, berdasarkan data KPAI pada 2022 ada 226 kasus kekerasan fisik, psikis termasuk perundungan (kompas.com, 24 Juli 2022). Bullying sendiri bisa berupa fisik, verbal, dan tidak langsung. Perundungan fisik misalnya menonjok, mendorong, memukul, menendang, dan menggigit. Perundungan verbal antara lain menyoraki, menyindir, mengolok-olok, menghina, dan mengancam. Sedangkan perundungan tidak langsung antara lain berbentuk mengabaikan, tidak mengikutsertakan, menyebarkan rumor, dan meminta orang lain untuk menyakiti (Safitri, 2022).
Belum lagi sistem pendidikan dan kurikulum di Indonesia yang masih belum ajeg dan cenderung berubah-ubah tergantung kepemerintahan. Di antaranya adalah salah satu faktor yang melatar belakangi terjadinya perubahan Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 menjadi Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional tersebut adalah pendidikan yang dilaksanakan masih belum mampu meningkatkan kualitas keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia para lulusannya, sebagai akibat dari belum efektifnya pelaksanaan pendidikan agama, akhlak mulia dan budi pekerti (Nata, 2012:46). Oleh sebab itu, problematika yang dominan menyebabkan berbagai masalah adalah krisis dalam pendidikan akhlak. Penegakan akhlak yang mulia harus menjadi agenda yang tidak boleh dikesampingkan, karena krisis lemahnya akhlak inilah yang terlihat menyebabkan umat manusia ini terjadi problem yang sangat besar (Subahri, 2015).
Berdasarkan kejadian-kejadian musibah dalam dunia pendidikan yang banyak terjadi di Indonesia dan bahkan mungkin negara lain, sebagaimana yang telah disebutkan penulis di atas sudah seharusnya dibahas dan diberikan solusi penanggulangan konsep pendidikan akhlak yang baik. Hal tersebut bertujuan agar memperbaiki akhlak anak-anak generasi yang akan mendatang. Karenanya pendekatan terkait pendekatan pendidikan akhlak berdasarkan dalam Al-Qur’an ataupun hadis perlu dilakukan. Mengkaji dan mendalami konsep pendidikan akhlak dalam Tafsir Al-Qur’an dan hadist bisa menjadi efektif Lebih penting dari itu, karena Al-Qur’an dan hadist merupakan pedoman kehidupan bagi manusia di dunia. Sehingga dari kajian Al Quran ini diharapkan akan membentuk keluarga muslim yang memiliki kompetensi dalam mengimplementasikan pendidikan akhlak dimanapun baik dalam lingkungan sendiri atau bahkan negara.
B. Rumusan masalah
Banyak ayat Al-Qur’an dapat ditindaklanjuti dalam penelitian ini. Namun, karena luasnya bidang cakupan dan agar tidak terjadi kerancuan dalam penelitian serta mengingat keterbatasan waktu, tenaga, dan lain sebagainya, Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis berfokus pada permasalahan sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan pendidikan akhlak ?
2. Bagaimanakah konsep pendidikan akhlak dalam Al-Qur’an?
3. Bagaimanakah implikasi pendidikan akhlak dalam pendidikan Islam di Indonesia?
C. Tujuan penulisan
Dari rumusan masalah diatas maka peneliti mengemukakan tujuan dari penelitian ini antara lain adalah untuk:
1. Mengetahui makna pendidikan akhlak
2. Mengetahui bagaimanakah konsep pendidikan akhlak dalam Al-Qur’an.
3. Mengetahui bagaimanakah implikasi pendidikan akhlak dalam pendidikan Islam di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Makna Pendidikan dan Akhlak
Kata pendidikan sering di kaitkan dalam bahasa Inggris dengan istilah “education” dalam kamus bahasa Inggris dinyatakan “the process of teaching and learning, usually at school, college, or university, the education system” (Longman,2006). Kemudian dalam kamus bahasa Indonesia kata “pendidikan” diartikan proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang di usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran, pelatihan, proses, dan cara. (KBBI, 2002). Dalam perspektif Islam kata “pendidikan” digambarkan dengan banyak kata diantaranta adalah tarbiyyah, ta’dib, ta’lim, tazkiyyah, dan tahdzib. sering disandingkan dengan tarbiyyah dalam kamus Munjid kata tarbiyyah غذاه وجعله يربواّ هذبه diartikan memberinya asupan dan menumbuhkannya, memperbaikinya (Ma’louf, 2008). Secara ringkas kata kerja ‘robaa’ diartikan bertambah dan tubuh (Arrad, 2015). Oleh sebab itu, pendidikan merupakan sebuah proses pembelajaran untuk merubah, menumbuhkan, dan memperbaiki setiap individu dalam proses pendewasaan biasa terjadi di sekolah, atau dalam lembaga-lembaga pendidikan. Dikarenakan pendidikan merupakan sebuah proses, maka tidak ada sebuah output pendidikan atau hasil pendidikan terbetuk/ tercipta secara instan tentunya memerlukan kurun waktu tertentu. Waktu tersebutlah bagian dari sistem pendidikan itu sendiri untuk menumbuhkan dan memperbaiki setiap individunya.
Al-Abrasyi lebih jauh mendefinisikan pendidikan adalah mempersiapkan individu atau pribadi agar bisa menghadapi kehidupan ini dengan kebahagiaan, cinta tanah air, kuat jasmani, sempurna akhlaknya, teratur dalam berfikir, berperasaan lembut, mahir di bidang ilmu, saling membantu dengan sesamanya, memperindah ungkapan perkataan lisannya, serta membaguskan amal perbuatannya (Assegaf, 2013). Al-Abrasyi menekankan pendidikan pencapaian kesempurnaan dalam hidup. Sehubungan dengan itu, Omar Mohammad Al-Thoumi Al-Syaibani, menyatakan bahwa pendidikan Islam adalah proses mengubah tingkah laku individu pada kehidupan pribadi, masyarakat dan alam sekitarnya dengan cara pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi dan sebagai profesi di antara profesi-profesi asasi dalam masyarakat (Ramayulis, 2015). Pendidik diharapkan dapat membimbing siswa-siswanya yang sering mengalami kegagalan ke arah keberhasilan dengan jalan mengajar mereka untuk mencita-citakan tujuan-tujuan yang sesuai dengan prestasi di masa lalu (Slameto, 2013:182-184).
Berdasarkan makna pendidikan di atas dapat disimpulkan bahwa, pendidikan merupakan sebuah proses perubahan sikap dan tingkah laku individu atau kelompok dalam mempersiapkan kehidupan kedewasaan melalui upaya pengajaran, latihan, proses, perbuatan serta cara mendidik yang benar. Karena pendidikan berkaitan dengan perubahan sikap dan prilaku maka seorang dikatakan “terdidik” jika, mengalami perubahan dalam sikap dan tingkah lakunya menuju yang lebih baik. Maka tidaklah salah, perkembangan sebuah negara yang maju dapatlah terlihat dari proses pendidikan yang baik. Sebab, mereka memperhatikan serta mempersiapkan generasi-generasi yang baik dan beradab untuk kelak menjadi pengganti mereka untuk mengatur negara dikemudian hari. Oleh sebab itu, pendidikan memegang peran penting dalam perubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau kelompok (Subky, 2015).
Kata Akhlak berasal dari jama’ kata al-khuluq atau al-khalq, yang secara etimologis berarti 1) tabiat, 2) budi pekerti, 3) keperwiraan, kesatriaan, kejantanan. (Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, 1994:102). Akhlak berasal dari wazn (خ ل ق) terdapat banyak dalam firman Allah menggukan kata ini kurang lebih ada 204 kata (Quran for Android, 2010). Dalam Mu’jam Al-Mufahros Apabila kita mencari jama’ kata tersebut yaitu خُلُقٍ maka dalam ada dua ayat yang mengindikasikan tentang kata berikut yaitu pada surah Asy-Syuara’: 137 dan dalam Al-Qalam: 4. (Abdul Baqi, 2007:300-301). Sedangkan dalam bahasa Yunani khuluq disamakan dengan ethicos, yang artinya adab kebiasaan, perasaan batin, kecenderungan hati untuk melakukan perbuatan, kemudian ethicos berubah menjadi kata “etika” (Dahlan, 2016, Sahilun, 1991:97). Kata “akhlak” dijelaskan lebih luas dalam buku Minhajul Muslim Akhlak merupakan suatu bentuk (karakter) yang kuat di dalam jiwa yang darinya muncul perbuatan yang bersifat iradiyyah ikhtiyariyyah (kehendak pilihan) berupa baik atau buruk, indah atau jelek, sesuai pembawaannya, ia menerima pengaruh pendidikan yang baik atau buruk (Al-Jaza’iri, 2011:347).
Sesungguhnya karakter semakna dengan akhlak, demikian pula dengan istilah-istilah lain, seperti nilai, moral, etika, dan budi pekerti hanya sumbernya saja yang berbeda. Sedangkan kata “akhlak” secara tegas bersumberkan agama, sementara karakter lebih bersumberkan konstitusi, masyarakat, dan keluarga (Dahlan, 2016). Pernyataan ini juga didukung dengan Reksiana dalam jurnalnya yang berjudul “Kerancuan Istilah Karakter, Akhlak, Moral Dan Etika” berdasarkan hasil kesimpulannya dibahas mengenai terminologi karakter, akhlak, moral dan etika. Perbedaan dari setiap terminologi tersebut dilihat dari segi asal-usul, teori, ilmu terkait, dan kemudian dari cara penerapannya. Jika dari segi asal kata, maka keempat terminologi tesebut memiliki asal usul yang berbeda seperti akhlak berasal dari agama Islam. Kemudian moral dan etika berasal dari ilmu filsafat yang pada akhirnya melahirkan aliran atau paham dalam filsafat itu sendiri. Sementara karakter memiliki makna yang lebih komprehensif dimana makna karakter itu sendiri tidak hanya sebatas baik dan buruk, namun lebih berorientasi kepada pendidikan nasional. Dalam hal persamaan, keempat terminologi tersebut sering dijadikan istilah dalam menggunakan pendidikan karakter (Reksiana, 2018).
Abuddin Nata menjelaskan pengertian akhlak merujuk kepada Ibnu Maskawaih (w. 421H/1030M) secara singkat mengatakatakan bahwa akhlak adalah “sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan”. Sementara itu imam Al-Ghazali (1059-1111 M.) dengan agak lebih luas mendefiniskan dari Ibnu Maskawaih, Imam Ghazali dalam kitabnya ihyaa ulumuddin mengatakan “sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan”. Maksud dari perbuatan yang dilakukan dengan mudah tanpa pemikiran, adalah tidak berati bahwa pada saat melakukan suatu perbuatan, yang bersangkutan dalam keadaan yang tidak sadar, hilang ingatan, tidur atau gila. Pada saat yang bersangkutan melakukan sesuatu perbuatan ia tetap sehat akal pikirannya dan sadar. Walaupun perbuatan tersebut dilakukan secara spontanitas, namun tetaplah perbuatan tersebut dilakukan secara sadar (Nata, 2015:2-5). Sehubungan dengan itu sebuah sikap dapat dikatakan sebagai akhlak jika, sikap dan prilaku yang dilakukannya sudah melekat dan tumbuh kuat tertanam dalam dirinya, dan menjadi gaya hidup bukan hanya sekedar datang dan pergi seketika (Syafri, 2022).
Karena akhlak merupakan suatu keadaan yang melekat di dalam jiwa, maka suatu perbuatan baru disebut akhlak kalau terpenuhi beberapa syarat. Pertama, perbuatan tersebut dilakukan berulang-ulang. Kalau hanya dilakukan sekali saja maka itu tidak dapat disebut akhlak. Kedua, perbuatan ini timbul dengan mudah tanpa dipikirkan atau diteliti lebih dahulu sehingga ia benar-benar merupakan suatu kebiasaan. Jika perbuatan dilakukan secara terpaksa atau setelah dipikirkan dan dipertimbangkan secara matang, tidak dapat disebut akhlak. (Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, 1994:102) kemudian Dahlan mengutip dari Muslich (2012) bahwa perbuatan akhlak seseorang dilakukan dengan kesungguhan, bukan main-main atau sandiwara, dan selanjutnya perbuatan akhlak khususnya yang baik adalah perbuatan-perbuatan yang dilakukan atas dasar keimanan dan ibadah atau pengabdian kepada Allah (Dahlan, 2017:78). Oleh sebab itu, perbuatan dan akhlak yang baik tentulah harus didasarkan dengan keimanan dan ibadah hanya mengharapkan ridho Allah semata, bukan karena ingin dipandang baik dimata manusia.
At-Tahawani wafat abad II H, penyusun kasyaf ishthilahat a-lfunun mendefinisikan ilmu akhlak yang disebutnya dengan istilah ilmu-ilmu prilaku (‘ulum as-suluuk) sebagai pengetahuan tentang apa yang baik dan tidak baik. Maksudnya adalah ilmu ini membahas tentang diri manusia dari segi kecenderungan-kecenderungannya, hasrat-hasratnya, dan beragam potensi yang membuat manusia condong pada kebaikan atau keburukan. Ilmu Akhlak juga membahas prilaku manusia dari segi apa yang seharusnya dilakukan manusia dalam menghiasi diri dengan keutamaan dan menjauhkan diri dari prilaku buruk dan rendah. Ini berati bahwa ilmu akhlak memiliki kaitan erat dengan kajian-kajian psikologi, sebab seperti premis-premis yang membantu meluruskan prilaku manusia hingga menjadi pribadi yang baik dan mampu mengontrol keinginannya dalam berbuat segala sesuatu (Hajjaj, 2011:223).
Islam dengan syariat yang diturunkan Allah bertujuan untuk membentuk dan mewujudkan pembangunan masyarakat yang memiliki akhlak yang mulia. Secara ideal pelaksanaan pembangunan di suatu daerah, baik infrastruktur maupun masyarakat, tidak akan berhasil optimal jika tidak diimbangi dengan tabiat, karakter, dan akhlak subjek yang melaksanakan pembangunan yang mengacu pada prinsip etika dan akhlak yang mulia. Akhlak merupakan bagian dari keseluruhan sistem syariat Islam dalam banyak hal, akhlak selalu menjadi tolak ukur yang bisa mengukur keberagamaan seseorang. Bahkan misi utama Rasulullah diutus oleh Allah ke muka bumi adalah untuk menyempurnakan akhlak ummat manusia (Suryadi, 2017:176-177). Pendidikan akhlak (tarbiyyah khuluqiyyah) dikutip oleh (Syafri, 2014) dijelaskan oleh Syaikh Saltut dalam kitab Ila Al-Quran Al-Karim bahwa, pendidikan akhlak merupakan proses dalam mendidik, memelihara, membentuk, dan memberikan latihan mengenai akhlak dan kecerdasan berfikir sebab, melalui ayat-ayatnya membimbing manusia untuk memikiki sikap akhlak karimah (Syafri, 2014).
Berdasarkan hasil beberapa penjelasan di atas terkait pendidikan akhlak yang memiliki keterkaitan erat dengan keadaan kejiwaan manusia berupa perbuatan yang terjadi secara spontanitas baik dan buruknya tergantung oleh siapa yang mempengaruhinya. Seseorang bisa memiliki akhlak baik atau buruk bisa jadi karena dirinya selalu diperlihatkan dan memerharhatikan kebiasaan-kebiasaan yang buruk di sekitar lingkungan, rumah, sekolah, dan masyarakat sekitarnya. Sehingga seluruh perbuatan yang dia lihat yang ada disekitarnya bisa mempengaruhi dirinya dalam bersikap, berprilaku, bertindak, dan mengambil keputusan. Oleh sebab itu, pendidikan akhlak merupakan sebuah usaha dan proses untuk mengkondisikan seseorang untuk selalu dalam cenderung dalam kebaikan dan memperbaikinya jika salah dan kurang tepat.
B. Asas dan Sumber Pendidikan Akhlak
Al-Quran telah memberikan proses penting dalam kehidupan manusia, hal itu tercermin dalam firman Allah yang pertama yang berkaitan dengan ilmu pendidikan dalam membaca. Syafri (2014) mengutip dari Abuddin Nata memaknai ilmu pengetahuan seluruh Ilmu pengetahuan harus ditunjukkan untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah. Sehingga, sebagai seorang muslim yang baik salah satunya harus mampu dan memiliki metode dan ilmu dalam pendidikan akhlak dan menanamkanya pada hati setiap muslim yang lainnya demi tercipta manusia yang berakhlak mulia. Adapun dua sumber dan asas pendidikan akhlak itu adalah Al-Quran dan Rasulullah (Hadist). Allah berfirman dalam Al-Quran:
لَقَدْ كَانَ فِيْ قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِّاُولِى الْاَلْبَابِۗ مَا كَانَ حَدِيْثًا يُّفْتَرٰى وَلٰكِنْ تَصْدِيْقَ الَّذِيْ بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيْلَ كُلِّ شَيْءٍ وَّهُدًى وَّرَحْمَةً لِّقَوْمٍ يُّؤْمِنُوْنَ ࣖ
Artinya: “Sungguh, pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang yang mempunyai akal. (Al-Qur’an) itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya, menjelaskan segala sesuatu, dan (sebagai) petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman” (Yusuf:111)
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ
Artinya: “Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah (Q.S. Al- Ahzab:21).
Dalam hadist Ibnu Qatadah pernah bertanya kepada Aisyah tentang akhlak Rasulullah. Maka Aisyah menjawab “Akhlak beliau adalah Al-Qur’an”(Kastolani, 2021). Maksudnya adalah akhlak beliau seluruhnya tercerminkan sebagaimana yang terdapat di dalam Al-Quran. Qatadah memaknai dari hadist ini menunjukkan bahwa Rasulullah adalah seorang yang mengamalkan Al-Quran, mengamalkan perintahnya dan manjauhi larangannya (Al Qurthubi, n.d.-a). Sehingga, perbuatan tersebut telah tertanam dalam diri beliau sebagai watak dan pembawaannya serta sebagai akhlak yang tertanam dalam diri Rasulullah.
Berdasarkan gambaran pada ayat Al-Quran dan hadist yang disebutkan di atas, Al-Quran merupakan petunjuk dari Allah serta ibrah sehingga kita dapat mengambil pelajaran tentang kehidupan di dalamnya. Kemudian dalam ayat kedua, pendidikan akhlak berasal dari Al-Quran dan seluruh implementasinya berupa uswatun hasanah adalah melihat bagaimana Rasulullah dalam bermua’malah dengan para sahabat. Oleh sebab itu, dalam tafsir Ibnu Katsir dinyatakan bahwa, sesungguhnya yang akan meneladani dan mengikuti sikap rasulullah adalah orang yang berharap pahala dan ganjaran dari Allah (Katsir, 2017). Selain itu, menegaskan kepada para sahabat untuk berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Al-Hadist sebagai jaminan otentisitas Islam agar umat senantiasa di bawah bimbingan Allah. Al-Qur’an memuat pokok-pokok hukum Islam yang dijabarkan melalui Al Hadist dan As Sunnah yang tertulis dengan bahasa Arab memuat gagasan-gagasan dan implemantasi nilai pendidikan menjadi ruh pendidikan manusia yang menerima Islam sebagai agama (Untung, 2007).
C. Kedudukan akhlak dalam islam dan Al-Quran
Akhlak merupakan pondasi dasar pada karakter diri seseorang. Sehingga, pribadi yang berakhlak baik nanti akan menjadi masyarakat yang baik. Akhlaklah yang membedakan karakter manusia dengan makhluk Allah yang lainnya. Jika tanpa akhlak, manusia akan kehilangan derajatnya sebagai hamba yang terhormat. Oleh sebab itu, pembinaan dalam akhlak menjadi bagian integral dalam dunia pendidikan untuk membentuk manusia yang beriman dan bertakwa (Syafri, 2014).
Ibnu Maskawaih dalam kitabnya Tahdzib al-akhlaq menyinggung posisi ilmu akhlak di antara disiplin ilmu-ilmu lain, mengunggapkan ilmu akhlak merupakan disiplin ilmu yang paling afdhal mengingat subtansi manusia memiliki prilaku istimewa yang tidak dimiliki oleh makhluk-makhluk lain di alam semesta sehingga manusia merupakan salah satu makhluk alam semesta yang paling unggul. Dan mengingat bahwa ilmu ini bertumpu pada visi pelurusan prilaku perbuatan manusia hingga seluruh prilaku perbuatannya menjadi sempurna sesuai dengan keluhuran subtansi dirinya yang jauh dari derajat keternistaan yang layak mendapat murka Allah dan siksa yang pedih, maka ia pun menjadi disiplin ilmu yang paling mulia dan luhur (Hajjaj, 2011:224). Allah menyebukan beberapa kalimat akhlak di dalam Al-Quran dengan kalimat jama’ yaitu “khuluk” di antaranta adalah firman Allah sebagai berikut:
اِنْ هٰذَآ اِلَّا خُلُقُ الْاَوَّلِيْنَ ۙ
Artinya: (agama kami) ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan orang-orang terdahulu (Q.S. As-Syu’ara:137)
Dalam tafsir Ibnu Katsir dan Ibnu ‘Abbas (Katsir, 2008) menafsirkan khuluq dengan kata ‘agama’ yang berhubungan dengan kebiasaan orang terdahulu sebelum mereka. Hal yang serupa dilakukan pula oleh Ikrimah, Atha’ Al-Khurasani, Qatadah, dan yang lainya (Ar-Rifa’i,1999:596-597). Dalam tafsir Jalalain kata khuluq pada ayat tersebut diartikan sebagai kebiasaan orang terdahulu (J. M. bin A. Al-Mahalli & As-Suyuthi, n.d.) hal tersebut juga serupa dalam tafsir Ath-Thabari (Ath-Thabari, 2007a) dan tafsir Al-Maraghi yang juga menafsirkan arti ayat ini adalah, Adat kebiasaan yang dianutnya adalah adat kebiasaan para bapak dan nenek moyang terdahulu (Al-Maraghi,1993:164). Sedangkan dalam tafsir Al-Qurtubi juga disebutkan makna khuluq adalah “agama”, “kebiasaan/ tabi’at” (Al Qurthubi, n.d.-b) Selain itu, Allah sebutkan kata khuluk pada firman Allah yang lainnya sebagai berikut:
وَاِنَّكَ لَعَلٰى خُلُقٍ عَظِيْمٍ
Artinya: “Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur (Q.S. Al-Qalam:4).
Dalam tafsir Jalalain kalimat khuluq diartikan sebagai agama (J. M. bin A. Al-Mahalli & As-Suyuthi, n.d.) sedangkan dalam Ibnu Katsir, Al-‘Aufi, Mujahid, As-Sudidi, Ar-Rabi bin Anas serupa meriwayatkan bahwa dari Ibnu Abbas “sesungguhnya engkau (Muhammad) berada dalam agama islam yang agung” dalam kalimat lain ‘Athiyyah mengatakan “engkau (Muhammad) adalah etika yang agung” ) (Katsir, 2011). Sedangkan dalam tafsir Ath-Thabari ayat tersebut maksudnya adalah sesungguhnya terdapat budi pekerti yang agung dalam diri Rasulullah (Muhammad) karena itulah adab yang Allah ajarkan kepada beliau yaitu: islam dan syariatnya (Ath-Thabari, 2007b). Dalam tafsir fi dzilalil Qur’an menafsirkan ayat tersebut lebih luas yaitu, semua makhluk penjuru mendapatkan jawaban dengan sanjungan yang unik terhadap Nabi yang mulia ini (Muhammad). Dan inilah, kesaksian dari Allah, jangkauan budi pekerti yang agung yang ada di sisi Allah (Quthb, 2004:274). Ibnu Abas dan Mujahid dalam tafsir Al Qurthubi benar-benar dalam budi pekerti yang sangat agung, di atas agama yang agung dari berbagai agama, agama tersebut adalah Islam karena tidak ada agama yang dicintai dan diridhoi selainnya. Sehubuhngan dengan itu Ali dan Athiyah akhlak dan budi pekerti itu adalah Al-Quran. Qatadah berkata bahwa budi pekerti merupakan melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala larangannya (Al Qurthubi, n.d.-a).
Akhlak menempati posisi yang sangat penting dalam Islam, sehingga setiap aspek dari ajaran agama Islam selalu berorientasi pada pembentukan akhlak dan pembinaan akhlak yang mulia yang disebut al-akhlak al-kariimah. Ma’mar meriwayatkan dari Qatadah, “dia pernah menanyakan kepada Aisyah tentang akhlak Rasulullah, kemudian Aisyah menjawab “Akhlak beliau adalah Al-Qur’an”. Arti pernyataan Aisyah bahwa akhlak Rasulullah adalah Al-Qur’an ialah bahwa Rasulullah telah menjadikan perintah dan larangan Al-Qur’an sebagai tabiat, akhlak, dan wataknya (Ar-Rifa’i, 1999:775). Adapun kemuliaan akhlak dalam Islam telah dijelaskan dalam bebapa Hadist Rasulullah sebagai berikut:
إن من أحبكم إلي وأقربكم منى مجلساً يوم القيامة أحاسنكم أخلاقاً
Artinya: “Sesungguhnya orang yang paling aku cintai di antara kalian dan paling dekat kedudukannya denganku pada hari kiamat adalah orang yang paling baik akhlaknya di antara kalian” (H.R At-Tirmidzi, no 2018)(Al-Jaza’iri, 2011:349).
Berdasarkan beberapa hadist di atas, dapat kita simpulkan bahwa, pentingnya akhlak yang baik dalam kehidupan. Karena akhlak baik akan melahirkan ketentraman untuk dirinya dan oranglain. Sehubungan dengan itu, suatu hari Imam Syafi’i pernah ditanya oleh seseorang: “sejauh manakah perhatianmu terhadap adab?” Beliau menjawab: “setiap kali telingaku menyimak suatu pengajaran budi pekerti meski hanya satu huruf, maka seluruh organ tubuhku akan ikut merasakan (mendengarnya) seolah-olah setiap organ itu memiliki alat pendengaran. Demikianlah perumpamaan hasrat kecintaanku terhadap pengajaran budi pekerti”. Kemudian beliau ditanya lagi, “lalu bagaimanakah usaha-usaha dalam mencari adab?” beliau menjawab, “aku akan senantiasa mencarinya laksana usaha seorang ibu yang mencari anak satu-satunya yang hilang” (Husaini, 2012:61). Berdasarkan ungkapan tersebut tidak diragukan lagi bahwa kedudukan adab dan akhlak sangatlah tinggi dalam Islam. Dikatakan dalam sebuah pepatah Arab al-adabu fauqal i’lmi artinya posisi adab di atas ilmu.
D. Tujuan pendidikan akhlak
Al-Quran mendorong fitrah manusia untuk memahami bahwa, alam ini butuh kekuatan untuk mengatur keseimbangan dan keterikatan antara Allah dan makhluknya (Syafri, 2014). Pendidikan akhlak secara sederhana bertujuan untuk memperbaiki prilaku dan sikap seseorang menjadi lebih baik. Manusia pada hakikatnya terlahir di dunia ini mempunyai fitrah sehingga mampu membedakan perbuatan baik dan buruk serta akalnya mampu menjangkau cara atau jalan mencapai tujuan-tujuan tersebut. Adapun beberapa tujuan pendidikan akhlak dalam Al-Quran sebagai berikut:
1. Pendidikan Akhlak untuk Ibadah
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ
Artinya: “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku” (Q.S. Adz-Dzariyat:56).
Dalam tafsir jalalain dikatakakan bahwa tidak dipungkiri orang yang tidak beribadah kepada Allah disebut orang kafir karena ibadah kepda selain Allah tidak akan ada. Berdasarkan penjelasan dari tafsir di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan adalah membentuk manusia yang mampu beribadah kepada Allah dengan benar (J. M. bin A. Al-Mahalli & As-Suyuthi, n.d.). Adapun tujuan pendidikan akhlak berdasarkan ayat tersebut adalah membangun manusia yang memiliki sikap, adab dan akhlak sehingga melahirkan ketaatan dalam beribadah kepada Allah.
2. Pendidikan akhlak untuk ishlah
قَالَ يٰقَوْمِ اَرَءَيْتُمْ اِنْ كُنْتُ عَلٰى بَيِّنَةٍ مِّنْ رَّبِّيْ وَرَزَقَنِيْ مِنْهُ رِزْقًا حَسَنًا وَّمَآ اُرِيْدُ اَنْ اُخَالِفَكُمْ اِلٰى مَآ اَنْهٰىكُمْ عَنْهُ ۗاِنْ اُرِيْدُ اِلَّا الْاِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُۗ وَمَا تَوْفِيْقِيْٓ اِلَّا بِاللّٰهِ ۗعَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَاِلَيْهِ اُنِيْبُ ٨٨ ( هود/11: 88)
Artinya: “Dia (Syuaib) berkata, “Wahai kaumku! Terangkan padaku jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku dan aku dianugerahi-Nya rezeki yang baik (pantaskah aku menyalahi perintah-Nya)? Aku tidak bermaksud menyalahi kamu terhadap apa yang aku larang darinya. Aku hanya bermaksud (mendatangkan) perbaikan selama aku masih sanggup. Dan petunjuk yang aku ikuti hanya dari Allah. Kepada-Nya aku bertawakal dan kepada-Nya (pula) aku Kembali” (Hud/11:88).
Berdasarkan penelusuran terhadap hadist-hadist Rasulullah, Az-Zantani dalam (Suryadi, 2017:178-179) menyimpulkan beberapa tujuan pendidikan akhlak sebagai berikut:
1. Memperbaiki hubungan antara individu dengan Allah dengan sikap istiqamah dalam akhlak yang baik dan menyadari dirinya selalu diawasi Allah muraqabatullah.
2. Mewujudkan Akhlak baik yang tertanam dalam hati, serta mengarahkan individu pada prilaku yang baik.
3. Memperbaiki dan membimbing prilaku manusia, serta menjadikan akhlak sebagai nilai luhur yang terpelihara.
4. Memperbaiki jiwa manusia dan menjaga harga dirinya, serta memelihara diri dari godaan syahwat.
5. Menanamkan akhlak mulia, sifat terpuji, dan etika yang utama.
6. Mendorong seseorang untuk memiliki tanggung jawab pribadi dan sosial yang lebih baik.
7. Membentuk masyarakat yang utama, yaitu masyarakat yang melakukan amr ma’ruf nahi munkar, membentuk pemahaman yang baik bahwa mereka ibarat satu badan, jika salah satu anggota badan sakit maka merasa sakitlah anggota badan lainnya.
E. Karakteristik Pendidikan akhlak
Abuddin Nata mengutip dari Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ ulumiddin uraian akhlak secara garis besar terbagi menjadi dua bagian, yaitu akhlak yang baik (al-akhlak al-kariimah) dan akhlak yang tercela (al-akhlak al-madzmumah. Berbuat adil, jujur, sabar, pemaaf, dermawan, dan amanah misalnya termasuk akhlak yang baik. Sedangkan berbuat dzalim, berdusta, pemarah, pendendam, kikir, dan curang termasuk ke dalam akhlak yang buruk (Nata, 2015:37). Al-Hasan berkata “akhlak yang baik adalah bermuka manis, bersungguh-sunguh dalam berderma dan menahan diri sehingga enggan mengganggu”. Kemudian Abdullah Ibnul Mubarak berkata, “akhlak yang baik terdiri dari tiga hal: menjauhi yang haram, mencari yang halal, dan berlapang hati kepada keluarga” (Al-Jaza’iri, 2011:350). Adapun Syafri (2014) mengutip dari Miqdad Yaljin karakteristik akhlak mencakup enam hal yaitu:
1. Akhlak bukan amalan lahiriyah tapi amalan hati yang diiringi niat, iradah, dengan rasa tanggung jawab dan penghargaan
2. Akhlak merupakan sikap yang global. Sehingga, mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia, manusia dengan makhluk lainnya, dan manusia dengan penciptanya.
3. Akhlak berdiri di atas nilai ruhiyyah.
4. Akhlak memiliki nilai yang konstan dan tetap tidak berubah dari masa ke masa.
5. Prinsip akhlak dalam islam integral dan lengkap, karena tidak mengalami kadaluarsa dan dapat digunakan sepanjang masa.
6. Akhlak cakupan sangat luas, oleh sebab itu, akhlak menuntut penggunaan karakter akhlak disetiap ruang lingkup kehidupan.
Sedangkan menurut Muhammad Rabi’ Mahmud Jauhari, guru besar akidah filsafat Universitas Al-Azhar, Cairo, Mesir menjelaskan karakteristik akhlak sebagai berikut:
1. Bersifat universal
2. Logis, menyentuh perasaan dan menyentuh hati nurani.
3. Memiliki rasa tanggung jawab bagi diri sendiri ataupun masyarakat
4. Tolak ukur dilihat dari realita perbuatan dan segi motif dari perbuatan
5. Dalam melakukan sebuah tindakan harus menumbuhkan kesadaran rasa diawasi oleh Allah
6. Akhlak islami memandang manusia terdiri dari aspek jasmani dan rohani yang harus dibangun secara seimbang
7. Kebaikan akhlak islam adalah untuk kebaikan manusia yang mencakup setiiap ruang dan waktu
8. Akhlak islam yang mulia selalu memberikan hadiah reward dalam setiap kebaikannya, dan begitupun sebaliknya jika dirinya melakukan keburukan maka akan diganjar dengan setimpal (Syafri, 2014).
Berdasarkan ciri-ciri yang telah disebutkan diatas tentunya akhlak mulia/ akhlaqul al kariimah tersebut bersumberkan dan berlandaskan Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah. Melaksanakan dan membiasakan tentunya menjadi hal yang wajib dan keharusan bagi umat Islam. Karena tugas manusia mengemban amanah menjadi khalifatul ardh pemakmur dan pemimpin dunia, dan dunia akan terasa makmur dan tentram apabila seluluruh masyarakat dunia memiliki akhlak yang baik seperti yang disebutkan di atas.
F. Kurikulum pendidikan akhlak dalam Al-Quran
Al-Quran melakukan proses pendidikan akhlak melalui latihan-latihan secara formal maupun non-formal. Memaknai akhlak karimah Syafri (2014) menyimpulkan bahwa, akhlak tersebut merupakan sikap ketaatan yang melekat pada diri seseorang berupa kepatuhan aturan ajaran syariah islam yang tercermin dalam amal-amal shalih. Sedangkan akhlak madzmumah sikap yang melekat pada diri seseorang dalam kebiasaan pelanggaran-pelanggaran dalam ketentuan syariah islam yang tercermin dalam amalan-amalah yang mengarah kepada keburukan.
Disamping itu, ada jenis perbuatan manusia yang berada diantara kedua jenis perbuatan di atas yaitu perbuatan yang dibiasakan, sehingga pelaku perbuatan tersebut dapat melakukan perbuatan yang sudah menjadi rutinitas walau tanpa disengaja, pelaku perbuatan tersebut harus mempertanggung jawabkan perbuatannya, sebab kebiasaan adalah akibat dari perbuatan sengaja yang dilakukan secara terus menerus (Amin, 2012:2-3). Bentuk pembiasaan inilah yang dikembangkan pada lembaga-lembaga pesantren di Indonesia. Ada sebuah kata-kata mutiara “daripada membiarkan anak ikhlas masuk neraka, lebih baik anak-anak kita paksa masuk syurga” dalam hal pembiasaan terpersepi bahwa ada unsur keterpaksaan dan pemaksaan. Hal tersebut memanglah benar adanya, namun membiasakan dalam melakukan hal kebaikan dengan keterpaksaan dan pemaksaan merupakan sebuah upaya untuk menciptakan dan membentuk akhlak dan karakter baik yang diharapkan.
1. Penanaman tauhid dan muraqabatullah
Tauhid didalam kamus Bahasa Arab masdar dari kata wahada yang berarti percaya dengan keesaan Allah (Ma’louf, 2008). Secara istilah adalah berkeyakinan dengan mengesakan Allah, dengan ketuhanan Nya, dan beribadah kepada Nya, dan juga dari nama-nama serta sifat-sifat Nya. Sehingga tauhid dan keimanan selalu tercerminkan dalam setiap ibadah kepada Allah. Allah berfirman dalam Al-Quran
لَهٗ مُعَقِّبٰتٌ مِّنْۢ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهٖ يَحْفَظُوْنَهٗ مِنْ اَمْرِ اللّٰهِ ۗ…. ( الرّعد/13: 11)
Artinya: “Baginya (manusia) ada malaikat-malaikat yang selalu menjaganya bergiliran, dari depan dan belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah. … (Ar-Ra’d/13:11).
Dalam Tafsir Fidzilalil Qur’an (لَهٗ مُعَقِّبٰتٌ مِّنْۢ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهٖ يَحْفَظُوْنَهٗ مِنْ اَمْرِ اللّٰهِ ۗ) meksudnya adalah malaikat-malaikat berjaga bergiliran mengikuti setiap orang, merupakan urusan allah oleh sebab itu, tidak diberi keterangan dan penjelasan yang lebih lanjut hanya dikatakan min amrillah (Qutb, 2004:48-50). Kemudian dalam Tafsir Jalalain dijelaskan bentuk dari penjagaan Allah melalui malaikat berdasarkan perintah Allah, dari gangguan jin dan makhluk-makhluk lainnya (Al-Mahalli & As-Suyuthi, 2008:941). Sedangkan dalam Tafsir Ibnu Katsir maksudnya adalah seorang hamba memiliki sejumlah malaikat memeliharanya dari berbagai keburukan yang menimpanya (Ar-Rifa’i, 1999:904).
2. Penanaman uswatun hasanah
Ayat Al-Quran banyak menceritakan kisah-kisah yang inspiratif dalam kehidupan. Karena Al-Quran merupakan petunjuk dari Allah serta ibrah sehingga kita dapat mengambil pelajaran tentang kehidupan di dalamnya. Kemudian dalam ayat kedua, pendidikan akhlak berasal dari Al-Quran dan seluruh implementasinya berupa uswatun hasanah adalah melihat bagaimana Rasulullah dalam bermua’malah dengan para sahabat
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ
Artinya: “Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah (Q.S. Al- Ahzab:21).
Berdasarkan gambaran pada ayat Al-Quran yang disebutkan di atas, pendidikan akhlak berasal dari Al-Quran dan seluruh implementasinya berupa uswatun hasanah adalah melihat bagaimana Rasulullah dalam bermua’malah dengan para sahabat. Oleh sebab itu, dalam tafsir Ibnu Katsir dinyatakan bahwa, sesungguhnya yang akan meneladani dan mengikuti sikap rasulullah adalah orang yang berharap pahala dan ganjaran dari Allah (Katsir, 2017).
G. Ruang Lingkup Pendidikan Akhlak
Menjadi ruang lingkup dan objek akhlak adalah perbuatan-perbuatan manusia yang dapat diberi hukum baik atau buruk, dengan kata lain seluruh perkataan dan perbuatan yang dilakukan manusia. Hal yang serupa disampaikan oleh Imam Al-Ghazali yang memiliki pandangan tidak jauh berbeda, beliau menyatakan pembahasan akhlak meliputi seluruh aspek kehidupan manusia, baik secara individu atau kelompok. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa problematika manusia dan tindakannya adalah salah satu pembahsan pokok dalam akhlak. Dari perbuatan-perbuatan manusia itulah timbul pola hubungan timbal balik yang terjadi pada sesama manusia dikenal hablun mina al-naas merupakan kelanjutan atas buah dari hubungan dengan tuhannya yang lebih dikenal dengan hablu mina allah (Dahlan, 2016:106) Atas dasar tersebut secara garis besar objek akhlak terbagi menjadi tiga kategori yaitu:
1. Akhlak kepada Allah dan Rasulullah
Akhlak kepada Allah dapat diartikan sikap atau perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai makhluk, kepada Tuhan sebagai khaliq dan Rasulullah adalah utusan Allah yang mengajak manusia untuk selalu beribadah kepada Allah. Adapun beberapa ayat Al Quran yang menunjukkan keagungan Allah dengan bentuk penciptaannya sebagai berikut:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ وَلَا تَوَلَّوْا عَنْهُ وَاَنْتُمْ تَسْمَعُوْنَ ٢٠ ( الانفال/8: 20)
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berpaling dari-Nya, padahal kamu mendengar (perintah-perintah-Nya)”, (Al-Anfal/8:20).
Ayat-ayat berlafadz “yaa ayyuhal ladziina aamanu” pada ayat di atas merupakan bentuk pendidikan akhlak terhadap Allah dan Rasulullah untuk selalu beriman dan taat terhadap seluruh yang diperintahkan Allah dan menjauhkan dari seluruh yang dilarang oleh Allah. Sehingga, ayat tersebut termasuk pendidikan akhlak. Karena memberikan gambaran untuk seorang muslim, jika selalu menjalankan perintah Allah dan menjauhkan diri dari larangannya akan menjadi pribadi yang berakhlak karimah.
2. Akhlak Pribadi dan Keluarga
Ayat berlafadz “yaa ayyuhal ladziina aamanu” yang memberikan pendidikan akhlak bagi seorang mukmin adalah keimanan terhadap seluruh syariat yang diajarkan islam. Allah berfirman dalam Al-Quran:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ادْخُلُوْا فِى السِّلْمِ كَاۤفَّةً ۖوَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ ٢٠٨ ( البقرة/2: 208)
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu. (Al-Baqarah/2:208)
Dalam kisahnya sebab turunnya ayat tersebut adalah karena ada seorang yahudi yang masuk islam, namun masih melakukan tradisi dan kebiasaan orang yahudi. Di tafsirkan menurut Syaikh Wahbah Az-Zuhaili ayat tersebut berkaitan dengan sikap dan prilaku loyalitas kepada agama islam. Beragama Islam haruslah menerima dan mengikuti keseluruhan dalam syariat ajaran yang ada dalam Islam. Tidak memilih dan mencampur adukan syariat islam dengan yang lainnya, sehingga tercipta plurarisme dalam beragama (Syafri, 2014). Oleh sebab itu, manusia yang mukmin haruslah memperhatikan amalan-amalannya sebaik mungkin agar selalu dalam jalan yang lurus dan diridhai oleh Allah.
Manusia dalam kehidupannya selalu berinteraksi dengan manusia yang lainnya, karena memang manusia sesungguhnya tidak akan mampu berdiri dengan sendirinya, kecuali dengan bantuan dan pertolongan orang lain. Dalam hal tersebut tentulah terjadi sebuah interaksi antara sesama manusia, hal yang perlu dipahami adalah dengan objek serta cara berinteraksi, sehingga interaksi yang dilakukan menimbulkan manfaat, dan terhindar dari kesalah pahaman yang salah satu penyebabnya adalah kesalahan dalam berkomunikasi (Dahlan, 2016:106).
مِنْ اَجْلِ ذٰلِكَ ۛ كَتَبْنَا عَلٰى بَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ اَنَّهٗ مَنْ قَتَلَ نَفْسًاۢ بِغَيْرِ نَفْسٍ اَوْ فَسَادٍ فِى الْاَرْضِ فَكَاَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيْعًاۗ وَمَنْ اَحْيَاهَا فَكَاَنَّمَآ اَحْيَا النَّاسَ جَمِيْعًا ۗوَلَقَدْ جَاۤءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِالْبَيِّنٰتِ ثُمَّ اِنَّ كَثِيْرًا مِّنْهُمْ بَعْدَ ذٰلِكَ فِى الْاَرْضِ لَمُسْرِفُوْنَ ٣٢ ( الماۤئدة/5: 32)
Artinya: “Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa barangsiapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. Barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia. Sesungguhnya Rasul Kami telah datang kepada mereka dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas. Tetapi kemudian banyak di antara mereka setelah itu melampaui batas di bumi” (Al-Ma’idah/5:32).
أبي هريرة أن النبي ﷺ قال: لا يدخل الجنة من لا يأمن جاره بوائقه أخرجه البخاري:6016
Artinya: diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwasannya Rasulullah pernah bersabda: tidaklah masuk Syurga orang yang tetangganya tidak aman dari kejelekannya, (H.R. Bukhari No. 6016) (Al-Mundziri, 2003:24).
Sebagai seorang muslim yang berkecimpung dalam keluarga harus mengarahkan dan membimbing keluarganya menuju keimanan dan keta’atan kepada Allah dalam menjalankan segala perintahnya dan menjauhi semua larangannya. Hal tersebut harus terpatri pada setiap keluarga muslim dan Langkah untuk mengawalinya adalah dengan merubah serta menjadikan diri sendiri sebagai uswatun hasanah/ teladan yang baik untuk seluruh anggota keluarganya di rumah. Hal tersebut sudah dijelaskan dalam Al-Quran sebagai berikut:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلٰۤىِٕكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَآ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ ٦ ( التحريم/66: 6)
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (At-Tahrim/66:6)
Berdasarkan ayat di atas, Allah memerintahkan kita untuk menyelamatkan keluarga kita dari siksa api neraka. Maksudnya adalah kita haurs menyelamatkan keluarga kita jangan sampai terkena dari siksa dan azab Allah yang sangat pedih. Sehingga untuk menyelamatkan orang lain sebelumnya kita harus memastikan bahwa diri kita selamat, barulah kemudian bisa menolong orang lain. Oleh sebab itu, Allah menyebutkan pertama kali adalah menyelamatkan diri sendiri, lalu kemudian barulah keluarga dari siksa api neraka.
3. Akhlak kepada alam (lingkungan)
Lingkungan adalah segala sesuatu yang berada di sekitar manusia, seperti binatang, tumbuh-tumbuhan, dan maupun benda-benda tak bernyawa. Pada dasarnya akhlak diajarkan Al-Qur’an terhadap lingkungan bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah. Kekhalifahan menuntut adanya interaksi antara diri manusia terhadap alam. Karena jika manusia hanya sekedar memanfaatkan alam dan tidak merawatnya dengan baik, maka akan timbul berbagai bencana Alam. Allah berfirman dalam Al- Quran yang berbunyi:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ ٤١ ( الرّوم/30: 41)
Artinya: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (Ar-Rum/30:41).
Dalam pandangan Islam, seseorang tidak dibenarkan mengambil buah sebelum matang, atau memetik bunga sebelum mekar, karena hal ini berarti tidak memberikan kesempatan kepada makhluk untuk mencapai tujuan penciptaannya. Ini berarti manusia dituntut untuk mampu menghormati proses-proses yang sedang berjalan, dan terhadap semua proses yang sedang terjadi. Yang demikian menghantarkan manusia bertanggung jawab, sehingga ia tidak melakukan kerusakan, bahkan dengan kata lain, setiap perusakan terhadap lingkungan harus dinilai sebagai perusakan pada diri manusia sendiri (Nata, 2015:129).
Dalam lingkungan pendidikan itu terbagi menjadi dua, yakni lingkungan bersifat fisik dan lingkungan yang bersifat non-fisik. Contoh lingkungan yang bersifat fisik adalah kondisi alam setempat, cuaca, dan tempat belajar. Sedangkan lingkungan non-fisik contohnya adalah keadaan sosial, adat istiadat, termasuk juga sekolah, rumah tangga, dan masyarakat (Daulay, 2016:61). Oleh sebab itu, yang menjadi objek dan subjek dalam mengatur kehidupan adalah manusia. Demikian berhubungan dengan amanah yang diberikan Allah kepada manusia yaitu menjadi seorang khalifah di bumi. Allah berfirman dalam Al-Qur’an yang berbunyi:
وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ اِنِّيْ جَاعِلٌ فِى الْاَرْضِ خَلِيْفَةً ۗ قَالُوْٓا اَتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُّفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاۤءَۚ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۗ قَالَ اِنِّيْٓ اَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ ٣٠ ( البقرة/2: 30)
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Al-Baqarah/2:30)
Allah telah menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi. Konsep kekhalifahan ini berkembang menjadi pemimpin sekaligus pemakmur bumi dan alam. Hidup di lingkungan alam semesta ini tentunya bukan hanyalah seorang atau sekelompok manusia saja, namun didalamnya mencakup seluruh sel kehidupan dan sumber kehidupan yang berada di alam itu sendiri. Oleh sebab itu pengelolaan dan manajemen tata kelola lingkungan memerlukan sikap perhatian dan kepedulian seluruh manusia. Sudah termasuk menjadi tugas utama kehidupan manusia untuk menjaga dan melestarikan lingkungan.
H. Metode pendidikan akhlak dalam Al-Quran
Ayat-ayat Al-Quran banyak mengandung makna yang sangat dalam dan di antaranya mengarahkan manusia untuk berakhlak karimah. Allah memfirmankan beberapa ayat terkait pendidikan akhlak dalam Al-Quran. Yakni, An-Nur: 30-31, 32; Al-Ahzab: 33; Al-Isra’: 23; At-Taubah: 119; Ali Imran: 133-134. Pada ayat tersebut mengungkapkan hal-hal yang berkenaan dengan prilaku, penjagaan diri, sifat pemaaf, dan kejujuran (Syafri, 2014).
قُلْ لِّلْمُؤْمِنِيْنَ يَغُضُّوْا مِنْ اَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوْا فُرُوْجَهُمْۗ ذٰلِكَ اَزْكٰى لَهُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا يَصْنَعُوْنَ ٣٠ ( النّور/24: 30)
Artinya: Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu, lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. (An-Nur/24:30)
وَقَرْنَ فِيْ بُيُوْتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْاُوْلٰى وَاَقِمْنَ الصَّلٰوةَ وَاٰتِيْنَ الزَّكٰوةَ وَاَطِعْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ ۗاِنَّمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ اَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيْرًاۚ ٣٣ ( الاحزاب/33: 33)
Artinya: Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan (bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliah dahulu, dan laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlulbait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. (Al-Ahzab/33:33)
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَكُوْنُوْا مَعَ الصّٰدِقِيْنَ ١١٩ ( التوبة/9: 119)
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan bersamalah kamu dengan orang-orang yang benar. (At-Taubah/9:119)
۞ وَسَارِعُوْٓا اِلٰى مَغْفِرَةٍ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمٰوٰتُ وَالْاَرْضُۙ اُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِيْنَۙ ١٣٣ ( اٰل عمران/3: 133)
Artinya: “Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa, (Ali ‘Imran/3:133)
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ
Artinya: “Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah (Q.S. Al- Ahzab:21).
Berdasarkan gambaran pada ayat Al-Quran yang disebutkan di atas, Al-Quran merupakan petunjuk dari Allah serta ibrah sehingga kita dapat mengambil pelajaran tentang kehidupan di dalamnya. Sehingga, pendidikan akhlak berasal dari Al-Quran dan seluruh implementasinya berupa uswatun hasanah adalah melihat bagaimana Rasulullah dalam bermua’malah dengan para sahabat. Oleh sebab itu, dalam tafsir Ibnu Katsir dinyatakan bahwa, sesungguhnya yang akan meneladani dan mengikuti sikap rasulullah adalah orang yang berharap pahala dan ganjaran dari Allah (Katsir, 2017). Syafri (2014) mengutip Imam Nawawi dalam kitab shalat Rasulullah adalah orang yang patuh kepada Allah serta mengamalkan dan beradab Al-Quran, mengambil ibrah dari kisah-kisahnya serta mentadabburi dan membacanya dengan baik. Selain itu, menegaskan kepada para sahabat untuk berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Al-Hadist sebagai jaminan otentisitas Islam agar umat senantiasa di bawah bimbingan Allah (Untung, 2007).
I. Implikasi Pendidikan Akhlak dalam Al-Quran Terhadap Pendidikan di Indonesia
Berdasarkan kajian pembahasan terkait pendidikan akhlak dalam Al-Quran di atas ditemukan bahwa pendidikan akhlak merupakan proses perubahan tingkah laku manusia menuju ke arah yang lebih baik, sehingga pertumbuhan akhlak selalu berdampingan dengan keta’atan kepada Allah dengan ikhlas. Adapun pendidikan akhlak tentunya sangatlah mempengaruhi proses tumbuh pendidikan islam di antaranya sebagai berikut
1. Pendidikan akhlak dalam Keluarga muslim
Berdasarkan pembahasan terkait pendidikan akhlak di dalam Al-Quran yang telah disebutkan di atas, tentunya memiliki implikasi yang sangat besar dalam membangun dan membina dalam ruang lingkup pendidikan keluarga. Sebagai seorang muslim yang berkecimpung dalam keluarga harus mengarahkan dan membimbing keluarganya menuju keimanan dan keta’atan kepada Allah dalam menjalankan segala perintahnya dan menjauhi semua larangannya. Hal tersebut harus terpatri pada setiap keluarga muslim dan Langkah untuk mengawalinya adalah dengan merubah serta menjadikan diri sendiri sebagai uswatun hasanah/ teladan yang baik untuk seluruh anggota keluarganya di rumah. Hal tersebut sudah dijelaskan dalam Al-Quran
“Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (At-Tahrim/66:6)”
Berdasarkan ayat di atas, Allah memerintahkan kita untuk menyelamatkan keluarga kita dari siksa api neraka. Maksudnya adalah kita haurs menyelamatkan keluarga kita jangan sampai terkena dari siksa dan azab Allah yang sangat pedih. Sehingga untuk menyelamatkan orang lain sebelumnya kita harus memastikan bahwa diri kita selamat, barulah kemudian bisa menolong orang lain. Oleh sebab itu, Allah menyebutkan pertama kali adalah menyelamatkan diri sendiri, lalu kemudian barulah keluarga dari siksa api neraka. Sehubungan dengan menyelamatkan diri sendiri, Allah memotivasi diri kita agar selalu dalam keta’atan kepada Allah karena Allah tidak akan mengubah keadaan komunitas, jika tidak dimulai dari perubahan dari diri sendiri. Allah berfirman dalam Al-Qur’an surah Ar-Ra’du ayat 11 sebagai berikut:
لَهٗ مُعَقِّبٰتٌ مِّنْۢ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهٖ يَحْفَظُوْنَهٗ مِنْ اَمْرِ اللّٰهِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَنْفُسِهِمْۗ وَاِذَآ اَرَادَ اللّٰهُ بِقَوْمٍ سُوْۤءًا فَلَا مَرَدَّ لَهٗ ۚوَمَا لَهُمْ مِّنْ دُوْنِهٖ مِنْ وَّالٍ ( الرّعد/13: 11)
Artinya: “Baginya (manusia) ada malaikat-malaikat yang selalu menjaganya bergiliran, dari depan dan belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia (Ar-Ra’d/13:11).
Pada surah Ar-Ra’du ayat 11 dijelaskan mengenai gambaran nasib suatu kaum. Ayat tersebut memberikan keterangan bahwasanya suatu kaum atau individu telah diberikan nasib takdir sesuai dengan kehendak Nya. Namun, dari kalangan kaum mereka sendiri yang merubahnya sehingga berubah menjadi keburukan. Dalam Tafsir Jalalain (اِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَنْفُسِهِمْۗ) tidak dijelaskan secara rinci potongan ayat tersebut. Melainkan hanya tertuliskan Allah tidak mencabut kenikmatan dari manusia حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَنْفُسِهِمْۗ (sehingga mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri) dari awalnya keadaan baik dengan melakukan perbuatan durhaka (Al-Mahalli & As-Suyuthi, 2008:941). Selanjutnya dalam Tafsir Fidzilalil Qur’an dijelaskan ayat ini merupakan sebuah Redaksi kalimat ini memiliki sebuah proses bagaimana Allah mengubah keadaan suatu kaum menjadi buruk. Allah akan mengubah keadaan seseorang sesuai dengan perubahan yang telah terjadi dalam diri mereka. Walaupun, Allah telah mengetahui apa yang akan terjadi pada diri mereka sebelum hal tersebut terwujud, namun yang terjadi pada diri mereka adalah bagian dari konsekuensi suatu perbuatan mereka, dan konsekuensi tersebut akan terjadi seiring dengan perbuatan yang telah mereka kerjakan (Qutb, 2004:48-50).
Kemudian dalam Tafsir Al-Maraghi lebih lengkap pada ayat tersebut sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa yang ada ada suatu kaum, berupa nikmat dan kesehatan, kemudian mencabutnya dari mereka, sehingga mereka mengubah dari apa yang terdapat dalam mereka sendiri, seperti kedzaliman sebagian mereka terhadap sebagian yang lain, dan kejahatan yang menggerogoti tatanan masyarakat serta menghancurkan ummat, seperti sebuah bibit penyakit yang menghancurkan individu (Al-Maraghi, 1994:143).
Mundzir (2019) menyatakan bahwa, Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya mengatakan “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” Dalam ayat ini Allah memberitahu bahwa Ia tidak mengubah suatu kaum sehingga ada salah satu di antara mereka ada yang mengubahnya. Bisa jadi dari golongan mereka sendiri, pengamat, atau faktor penyebab yang masih mempunyai hubungan sebagaimana para pasukan yang dikalahkan pada saat perang Uhud disebabkan penyelewengan yang dilakukan oleh ahli panah. Demikian pula contoh-contoh dalam syari’at.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa, faktor berkurangnya atau hilangnya kenikmatan yang diterima hamba itu tidak tunggal. Faktor itu bisa murni bersumber dari kesalahan hamba itu sendiri, bisa pula dari kesalahan anggota keluarga atau komunitas sekitarnya, sebagaimana terjadi pada perang Uhud. Dengan bahasa lain, kesalahan segelintir orang itu berdampak negatif lalu menggoyahkan kekuatan kelompok secara keseluruhan. Oleh sebab itu, pendidikan akhlak dalam keluarga memegang peranan sangat penting untuk menjadi wajah kemulian akhlak agama islam pada dunia ini.
2. Lembaga pendidikan
Lembaga pendidikan merupakan sebuah lingkungan yang di dalamnya terikat proses pembelajaran dan pendidikan baik secara langsung, tidak langsung, resmi atau tidak resmi. Lingkugan pendidikan tersebut adalah lingkungan yang membawa dan mampu mempengaruhi kondisi dan sikap seluruh individu atau kelompok di sekitarnya. Sehingga untuk membangun lingkungan pendidikan yang ideal, membutuhkan proses yang tidak mudah. Namun, hal tersebut sudah tersimulasikan dengan adanya Lembaga pendidikan formal seperti sekolah dan pesantren, ataupun Lembaga yang tidak formal seperti tempat les d.l.l. Namun, yang menjadi problematikanya adalah Lembaga pendidikan yang hanya memusatkan untuk mengembangkan kemampuan dan potensi anak dari segi keilmuan kognitifnya saja. Sementara membiarkan kemampuan sosial dan afektifnya di tinggalkan dan malah dianggap tidak penting. Allah berfirman dalam Al-Quran
وَضَرَبَ اللّٰهُ مَثَلًا قَرْيَةً كَانَتْ اٰمِنَةً مُّطْمَىِٕنَّةً يَّأْتِيْهَا رِزْقُهَا رَغَدًا مِّنْ كُلِّ مَكَانٍ فَكَفَرَتْ بِاَنْعُمِ اللّٰهِ فَاَذَاقَهَا اللّٰهُ لِبَاسَ الْجُوْعِ وَالْخَوْفِ بِمَا كَانُوْا يَصْنَعُوْنَ ١١٢ ( النحل/16: 112)
Artinya: “Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezeki datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (pen-duduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah, karena itu Allah menimpakan kepada mereka bencana kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang mereka perbuat” (An-Nahl/16:112)
3. Kurikulum pendidikan nasional
Kurikulum pendidikan nasional Indonesia menjadi sebuah rel kereta untuk tercapainya pendidikan di negara Indonesia. Sehingga kurikulum pendidikan tersebut menjadi sebuah acuan dalam merumuskan visi dan misi serta harapan suatu bangsa untuk generasi kedepannya. Namun, stake holder di seluruh variabel pendidikan di Indonesia masih menghasilkan kelulusan yang pragmatis, dikarenakan kompetensi lulusan hanya dilihat dari segi aspek kogitif saja. Hal tersebut tentunya berbeda dengan hal yang telah dirumuskan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional berbunyi:
“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran, agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara”.
Dalam narasi tersebut menyebutkan dengan pendidikan menjadikan peserta didik yang berakhlak mulia. Problematikanya adalah akhlak mulia bagaimanakah yang harus dibangun dan dikembangkan oleh peserta didik. Berdasarkan pembahasan di atas, asas dan dasar pendidikan akhlak adalah mengacu dan merujuk pada pembahasan pendidikan akhlak yang terdapat dalam Al-Quran serta suri tauladan dari Rasulullah. Karena Al-Quran merupakan pedoman seluruh aspek kehidupan bagi manusia, tentunya termasuk di dalamnya adalah pendidikan Akhlak. Sehingga, dalam merumusan materi dan naskah kurikulum pendidikan akhlak haruslah merujuk pada Al-Quran dan akhlak baik yang telah Rasulullah ajarkan kepada kita.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pendidikan akhlak merupakan proses dalam mendidik, memelihara, membentuk, dan memberikan latihan mengenai akhlak dan kecerdasan berfikir sebab, melalui ayat-ayatnya membimbing manusia untuk memikiki sikap akhlak karimah. Seseorang bisa memiliki akhlak baik atau buruk bisa jadi karena dirinya selalu diperlihatkan dan memerharhatikan kebiasaan-kebiasaan yang buruk di sekitar lingkungan, rumah, sekolah, dan masyarakat sekitarnya. Sehingga seluruh perbuatan yang dia lihat yang ada disekitarnya bisa mempengaruhi dirinya dalam bersikap, berprilaku, bertindak, dan mengambil keputusan. akhlak tersebut merupakan sikap ketaatan yang melekat pada diri seseorang berupa kepatuhan aturan ajaran syariah islam yang tercermin dalam amal-amal shalih. Sedangkan akhlak madzmumah sikap yang melekat pada diri seseorang dalam kebiasaan pelanggaran-pelanggaran dalam ketentuan syariah islam yang tercermin dalam amalan-amalah yang mengarah kepada keburukan.
Dalam Ayat Al-Quran banyak menceritakan kisah-kisah yang inspiratif dalam kehidupan. Karena Al-Quran merupakan petunjuk dari Allah serta ibrah sehingga kita dapat mengambil pelajaran tentang kehidupan di dalamnya. Berdasarkan kajian pembahasan terkait pendidikan akhlak dalam Al-Quran di atas ditemukan bahwa pendidikan akhlak merupakan proses perubahan tingkah laku manusia menuju ke arah yang lebih baik, sehingga pertumbuhan akhlak selalu berdampingan dengan keta’atan kepada Allah dengan ikhlas. pendidikan akhlak berasal dari Al-Quran dan seluruh implementasinya berupa uswatun hasanah adalah melihat bagaimana Rasulullah dalam bermua’malah dengan para sahabat.
Adapun pendidikan akhlak tentunya sangatlah mempengaruhi proses tumbuh pendidikan islam di antaranya. Pertama, pendidikan akhlak dalam Keluarga muslim Sebagai seorang muslim yang berkecimpung dalam keluarga harus mengarahkan dan membimbing keluarganya menuju keimanan dan keta’atan kepada Allah dalam menjalankan segala perintahnya dan menjauhi semua larangannya. Kedua, Lembaga pendidikan merupakan sebuah lingkungan yang di dalamnya terikat proses pembelajaran dan pendidikan baik secara langsung, tidak langsung, resmi atau tidak resmi. asas dan dasar pendidikan akhlak adalah mengacu dan merujuk pada pembahasan pendidikan akhlak yang terdapat dalam Al-Quran serta suri tauladan dari Rasulullah. Ketiga, kurikulum pendidikan di Indonesia Karena Al-Quran merupakan pedoman seluruh aspek kehidupan bagi manusia, tentunya termasuk di dalamnya adalah pendidikan Akhlak. Sehingga, dalam merumusan materi dan naskah kurikulum pendidikan akhlak haruslah merujuk pada Al-Quran dan akhlak baik yang telah Rasulullah ajarkan kepada kita. (oleh: MOH. RIDHAM ADDIMASYQI)
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Baqi, M. F. (2007). Mu’jam Al-Mufahros Li Alfadzi Al-Qur’an Al-Karim. Dar El Hadith.
Al-Jaza’iri, A. B. J. (2011). Minhajul Muslim konsep hidup ideal dalam islam terj. Mushofa ’Aini, dkk (5th ed.). Darul Haq.
Al-Mahalli, J., & As-Suyuthi, J. (2008). Tafsir Jalalain Juz.1 terj.Abubakar Bahrun (6th ed.). Sinar Baru Algensindo.
Al-Mahalli, J. M. bin A., & As-Suyuthi, J. A. bin A. B. (n.d.). Tafsir Jalalain. Darul Bayan Hadist.
Al-Maraghi. (1993). Tafsir Al-Maraghi, Juz XIX, terj. Muhammad Shohib, dkk (2nd ed.). Karya Toha Putra Semarang.
Al-Maraghi. (1994). Tafsir Al-Maraghi, Juz XIII, terj. K. Anshori Umar Sitanggal, dkk (2nd ed.). Karya Toha Putra Semarang.
Al-Mundziri, I. (2003). Mukhtasar Shahih Muslim, terj. Achmad Zaidun (2nd ed.). Pustaka Amani.
Al Qurthubi, I. (n.d.-a). Tafsir Al- Qurthibi Jilid 19. Pustaka Azzam.
Al Qurthubi, I. (n.d.-b). Tafsir Al-Qurthubi Jilid 13. Pustaka Azzam.
Alfiah. (2022). Remaja Kita Dalam Ancaman Krisis Adab dan Akhlak. Datariau.Com. https://www.datariau.com/detail/dakwah/remaja-kita-dalam-ancaman-krisis-adab-dan-akhlak
Amin, A. (2012). Kitab Akhlak wasiat terakhir Gus Dur (1st ed.). Quntum Media.
Android, Q. F. (2010). Quran For Android (3.2.0). Play Store. https://play.google.com/store/apps/details?id=com.quran.labs.androidquran
Ar-Rifa’i, M. N. (1999a). Taisir Al-Aliyyul Qadir li Ikhtisari Tafsir Ibnu Katsir, Jilid III, terj. Syihabuddin. Gema Insani Press.
Ar-Rifa’i, M. N. (1999b). Taisir Al-Aliyyul Qadir li Ikhtisari Tafsir Ibnu Katsir, Jilid IV, terj. Syihabuddin. Gema Insani Press.
Arrad, S. A. abu. (2015). Muqoddimah fi Al-Tarbiyah Al-Islamiyah, terj. Syaeful Rokim. Marwah Indo Media.
Assegaf, A. R. (2013). Aliran Pemikiran Pendidikan Islam: Hadharah Keilmuan Tokoh Klasik Sampai Modern (1st ed.). Rajawali Pers.
Ath-Thabari, I. A. J. M. bin J. (2007a). Tafsir Ath-Thabari Jilid 19. Pustaka Azzam.
Ath-Thabari, I. A. J. M. bin J. (2007b). Tafsir Ath-Thabari Jilid 25. Pustaka Azzam.
Bahasa, T. P. K. P. (2002). Kamus Besar Bahasa Indonesia (3rd ed.). Balai Pustaka.
Dahlan. (2016). Konsep Pembelajaran Aqidah-Akhlak (1st ed.). Deepublish.
Dahlan. (2017). Membangun Spiriualitas & Kemuliaan Sikap (1st ed.). Samudra Biru.
Daulay, H. P. (2016). Pemberdayaan Pendidikan Agama Islam di Sekolah (1st ed.). Fajar Interpratama Mandiri.
Hajjaj, M. F. (2011). Tashawwuf Al-Islami wal Al-Akhlaq, terj. Kamran As’at Irsyady dan Fakhri Al-Ghazali (1st ed.). Amzah.
Husaini, A. (2012). Pendidikan Islam Membentuk Manusia Berkarakter & Beradab (1st ed.). Cakrawala Publishing.
Indonesia, B. N. (2016). Media sosial “merusak” perkembangan moral. BBC News Indonesia. https://www.bbc.com/indonesia/majalah/2016/07/160718_majalah_mediasosial_moral
Islam, D. R. E. (1994). Ensiklopedi Islam (3rd ed.). Ichtiar Baru Van Hoeve.
Kastolani. (2021). 33 Akhlak Rasulullah SAW yang Harus Diteladani Muslim dalam Momen Maulid Nabi. Inews.Id. https://www.inews.id/lifestyle/muslim/akhlak-rasulullah-saw-yang-harus-diteladani/all#:~:text=Akhlak Nabi SAW adalah Alquran,ini menunjukkan bahwa Rasulullah Saw.
Katsir, I. bin U. (2008). Al-Misbahul Munir Fii Tahdzibi Tafsiri Ibni Katsir Jilid ke-7, Terj. Abu Ihsan Al-Atsari (1st ed.). Pustaka Ibnu Katsir.
Katsir, I. bin U. (2011). Al-Misbahul Munir Fii Tahdzibi Tafsiri Ibni Katsir Jilid ke-1, Terj. Abu Ihsan Al-Atsari (6th ed.). Pustaka Ibnu Katsir.
Katsir, I. bin U. (2017). Tafsir Ibnu Katsir Jilid 5, Terj. Engkos Kosasih dkk (1st ed.). Maghfirah Pustaka.
Longman, P. (2006). Dictionary of Cotemporary English: The Living Dictionary (5th ed.). Pearson Education Limited.
Ma’louf, L. (2008). Munjid fi Mu’jamil Lughah (43rd ed.). Dar El-Machreq Sarl.
Mundzir, A. (2019). Tafsir Ar-Ra’d Ayat 11: Motivasi Mengubah Nasib? NU Online.
Nata, A. (2012). Kapita Selekta Pendidikan Islam isu-isu kotemporer tentang pendidikan islam (1st ed.). Rajawali Pers.
Nata, A. (2015). Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, ref.ed (14th ed.). Rajawali Press.
Qutb, S. (2004). Tafsir Fi Dzilalil Qur’an Jilid 1 terj. As’ad Yasin dkk (1st ed.). Gema Insani Press.
Quthb, S. (2004). Tafsir Fi Dzilalil Qur’an di bawah naungan Al-Qur’an (surah Al-Hasyr 11- Al-Haaqqah), jilid 22, terj. As’ad Yasin dkk (1st ed.). Gema Insani Press.
Ramayulis. (2015). Ilmu Pendidikan Islam (12th ed.). Kalam Mulia.
Reksiana. (2018). Kerancuan Istilah Karakter, Akhlak, Moral dan Etika. THAQÃFIYYÃT, 19(1–30), ثقثقثقثق. https://doi.org/10.1051/matecconf/201712107005
Safitri, E. N. (2022). Aksi Bullying, Potret Buruk Sistem Pendidikan. Depok Pos. https://www.depokpos.com/2022/12/aksi-bullying-potret-buruk-sistem-pendidikan/
Slameto. (2013). Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya (Ed. rev, 6). Rineka Cipta.
Subahri, S. (2015). Aktualisasi Akhlak Dalam Pendidikan. Islamuna: Jurnal Studi Islam, 2(2), 167. https://doi.org/10.19105/islamuna.v2i2.660
Subky, B. H. (2015). Tafsir II Pendidikan Islam (1st ed.). Indie Publishing.
Suryadi, R. A. (2017). Rekonstruksi Pendidikan Islam sebuah penafsiran qurani (1st ed.). Nuansa.
Syafri, U. A. (2014). Pendidikan Karakter Berbasis Al-Quran (2nd ed.). Raja Grafindo Persada.
Syafri, U. A. (2022). AKHLAK, YESSS!! BUDAYA? OKE!! Youtube KAMPUS DIGITAL Dr. Ulil Amri Syafri. https://youtu.be/EmJfEMZ849w
Untung, S. (2007). Menelusuri Metode Pendidikan Ala Rasulullah (1st ed.). Pustaka Rizki Putra.